KUPANG - Data produksi jagung di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) setelah Gubernur Frans Lebu Raya mencanangkan NTT sebagai propinsi jagung, selain propinsi ternak dan koperasi berbeda-beda.
Data itu berbeda dengan data yang miliki Badan Pusat Statistik (BPS) setempat yang melaporkan terjadi penurunan produksi, sementara DPRD NTT menerima laporan produksi jagung meningkat mencapai 900.000 ton lebih.
Anggota DPRD NTT, Cirylus Bau Engo, yang juga pengurus Dewan Koperasi Wilayah (Dekopinwil) NTT, ketika dimintai keterangan di Kupang, Sabtu (11/7), menyatakan keheranannya atas perbedaan data tersebut.
Dia mengaku, DPRD menerima laporan produksi jagung meningkat mencapai 900.000 ton lebih, sementara BPS merilis data terjadi penurunan produksi jagung pada tahun ini sebesar 5,40 persen atau dari 673.112 ton pada tahun 2008 menjadi 636.778 ton pada tahun 2009.
Data yang disampaikan Kepala BPS NTT, Poltak Siahaan, akhir pekan lalu itu tampaknya berbeda dengan data pemerintah daerah. Apalagi data penurunan itu disampaikan pada saat NTT ditetapkan sebagai propinsi jagung setelah Frans Lebu Raya dan Esthon L Foenay dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur pertengahan tahun 2008.
Terlepas dari perbedaan data tersebut, Cirylus dalam kapasitas sebagai pengurus Dekopinwil NTT menyatakan kesiapan koperasi-koperasi di daerah itu untuk menyediakan bibit, pupuk, pendampingan terhadap para petani dan menyediakan pasar. Yang penting, kata dia, pemerintah provinsi berkomitmen untuk memanfaatkan koperasi dan bukan membiarkan koperasi untuk mengikuti tender proyek pengadaan bibit, pupuk, pendampingan petani dan membangun jaringan pasar.
NTT pernah menjadi propinsi penghasil jagung ketika Ben Mboi menjadi Gubernur NTT dua periode yakni pada 1978-1988 melalui program yang dikenal dengan ONM dan ONH atau Operasi Nusa Makmur dan Operasi Nusa Hijau. Gebrakan Ben Mboi itu, kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Herndrikus Fernandez yang memimpin NTT pada peiode 1988-1993, melalui program Gerbades atau Gerakan Membangun Desa.
Baik Ben Mboi maupun Fernandez, berhasil meningkatkan produksi jagung hibrida karena segera setelah program itu diluncurkan, pemerintah propinsi melakukan desentralisasi anggaran dari APBD I untuk pemerintah kabupaten, selain merektur tenaga penyuluh lapangan dalam jumlah banyak untuk ditempatkan di desa-desa mendampingi para petani.
Menurut mereka, tidak mungkin kabupaten mengalokasikan APBD II untuk menyukseskan program pemerintah provinsi.
Faktor tidak ada desentralisasi biaya dari provinsi untuk kabupaten dan rekrutmen tenaga penyuluh lapangan itulah yang pernah dipersoalkan oleh sejumlah peserta dialog, ketika Wakil Ketua DPRD NTT, Drs. Paulus Moa dan anggota, Oscar Mandarlangi, melakukan kunjungan kerja ke Sikka, Flores bagian tengah, pertengahan bulan lalu.
Menurut peserta dialog, Ben Mboi dan Fernandez berhasil meningkatkan produksi jagung karena memperhatikan dua faktor tersebut.
Jika pemerintahan Gubernur Frans Lebu Raya ingin mencapai peningkatan produksi jagung seperti pada pemerintahan Gubernur Ben Mboi dan Hendrik Fernandez, maka mestinya melakukan hal serupa.
Sejak Gubernur Lebu Raya mencanangkan NTT sebagai propinsi jagung pertengahan tahun lalu, Sub-Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan melakukan intensifikasi di 10 dari 20 kabupaten di atas lahan seluas 670 hektar. Ke-10 kabupaten itu adalah, Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Sumba Timur, Sumba Barat, Sikka, Flores Timur, Lembata dan Alor.
Intensifikasi itu diperuntukkan bagi lahan pertanian yang selama ini sudah digarap untuk tanaman jagung.
Pemerintah mencoba melakukan intervensi teknologi guna meningkatkan kapasitas produksi dari 2,3 ton per hektar, menjadi 3-4 ton per hektar.
Dengan intensifikasi itu, diharapkan produksi bisa meningkat dari produksi alamiah selama ini sekitar 250.000 sampai 260.000 ton jagung per tahun. (pko/ant)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar